Di Mana Ahlussunnah Sekarang?
Telah menjadi tradisi
kalangan penulis Barat, termasuk Indonesia bahwa filsafat masuk ke dunia Islam
sejak masa kejayaan Bani Abbasiyah. Ada empat alasan dikemukakan oleh Dr. Ali Sami
al-Nasysyar mengoreksi tradisi keliru itu untuk membuktikan bahwa filsafat
telah masuk jauh sebelum masa kejayaan Abbasiyah, melainkan masa Bani Umayyah :
1. Apa yang disebut
oleh Ibnu Katsier, ia menyatakan filsafat masuk ke dunia Islam sejak abad
pertama Hijriyah. Hanya saja diakui belum tersebar luas, karena keberadaan
penentangan dari ulama salaf.
2. Penjelasan al
Syairazie dalam “Kitab al Asfar al Arba’ah” yang ditransfer dari buku “Al-Mutharahat”
karya al Suhrawardi bahwa Mutakallimin pertama (Theolog muslim pertama) telah
menerima hasil transformasi yang dilakukan suatu jama’ah pada masa Khalifah
Bani Umayyah dari buku-buku suatu kaum. Kaum itu mengira setiap nama Yunani adalah
filsuf. Selanjutnya dijelaskan, bahwa kaum itu memuji setiap kata yang muncul
dari nama Yunani.
3. Keberadaan diskusi
antara kaum muslimin dengan tokoh-tokoh gereja, di dalamnya dibicarakan
filsafat Yunani. Diskusi tersebut
terjadi pada abad pertama Hijriyah.
4. Khalid bin Yazid
pada masa abad pertama khilafah Bani Umayyah telah memerintahkan ilmuwan-ilmuwan
Yunani yang berdiam di Iskandariyah untuk menterjemahkan Organon (kumpulan
karya filsafat Aristoteles) dari bahasa Yunani ke Arab.
Masuknya filsafat
Yunani ke dunia Islam mempengaruhi munculnya sekte Mu’tazilah, suatu sekte yang
dikenal paling rasional dan pengagum akal dalam Islam. Selain itu dikenal pula
Khawarij, Murjiah, Qadariyah dan Jabariyah. Memang perlu diakui bahwa munculnya
sekte-sekte itu bukan semata pengaruh
pikiran Yunanis atas pikiran Islam, tetapi juga karena perngaruh peristiwa yang
muncul di kalangan ummat Islam itu sendiri,
terutama kemelut politik yang terjadi sejak masa pemerintahan Khalifah Utsman
yang kemudian berkembang terus pada khalifah-khalifah selanjutnya. Alasan kedua
ini dikemukakan oleh Prof. Wensink. Selain
itu juga karena pengaruh Alquran sendiri yang sejak dini telah memberikan
tempat bagi ummat Islam seluas-luasnya untuk berpikir. Perintah Alquran itu
dimanfaatkan oleh Khalifah Umar, saeorang khalifah yang mampu melihat hukum Islam
tidak dari lahiriyah ayat, melainkan mampu menyingkapnya sampai ke tingkat yang
lebih mendalam. Sehingga banyak kebijaksanaan Umar yang secara lahiriyah lebih
mencerminkan sifat intelektualitas akal dibanding dhohiriyah ayat. Abad itu dapat
disebut periode fiqhiyah ushuliyah. Sudah tentu masuknya filsafat Yunani ke
dalam dunia Islam tidak selalu memberikan dampak positif. Untuk itu tampil
golongan Ahlussunnah memberikan reaksi keras terhadap ekses-ekses negatif yang
ditimbulkan oleh filsafat Yunani itu. Sehingga keluarlah fatwa-fatwa seperti : “Siapa
yang bermantiq maka ia telah berbuat zindiq”, “Larilah kamu dari ilmu Kalam seperti
kamu lari dari terkaman Singa”, dan lain-lainnya. Walaupun kritik yang dilontarkan itu semata-mata
destruktif (kritik menghancurkan konsep lawan), tetapi pada akhirnya membuahkan
kritik konstruktif (kritik menghancurkan konsep lawan dengan menyusun konsep
sendiri sebagai tandingan). Kritik konstruktif ini terutama muncul setelah Imam
Muhammad bin Idris al Syafi’ie mampu mensistimatisir logika hukum Islam yang
dapat dipergunakan untuk menyelamatkan diri dari kesalahan setiap melakukan
inferensi (istintaj) ayat-ayat Alquran maupun
Sunnah Nabi. Diantara tokoh-tokoh Ahlussunnah pada fiqhiyah ushuliyah
ini adalah Abu Hanifah (699-767), Malik bin Anas (711-787), Muhammad bin Idris
al Syafi’ie (767-819) dan Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (779-855). Disebut
periode fiqhiyah ushuliyah, karena kritik konstruktif mereka membuahkan apa
yang dikenal dengan sebutan “Ushul Fiqih” (Prinsip-prinsip Yurisprodensi Islam).
Mu’tazilah yang lebih
mewarisi Qadariyah dibanding Murjiah dan Jabariyah dalam perkembangannya lebih menunjukkan
kematangan argumentatif akali. Sehingga konsep keempat tokoh Ahlussunnah itu
semakin terdesak. Untuk itu golongan Ahlussunnah yang sejak semula bangkit
dengan keyakinan apriori ingin mempertahankan Alquran dan Sunnah dituntut
memperkuat benteng pertahanannya dengan argument-argumen rasional filsafati
yang lebih mandiri. Tampillah Abu Hasan al Asy’ari (873-935) dan Abu Mansur al
Maturidi (wafat 944) menjawab tuntutan tersebut. Bangkitnya kedua tokoh ini
menjadikan mereka tergolong dalam apa yang disebut “Ulama Khalaf”, sementara
keempat tokoh tersebut di atas tergolong dalam apa yang disebut “Ulama Salaf”.
Andil ulama khalaf itu cukup besar untuk memberikan kepercayaan terhadap para
penganut madzhab “Ahlussunnah”, walaupun mulanya pendapat mereka ditampik oleh
ulama salaf. Tapi akhirnya diterima luas.
Tradisi Mu’tazilah
dilanjutkan oleh kedatangan suatu periode filsafat Islam yang dipelopori oleh
al Kindi (wafat 872), al Farabi (879-950), Ibnu Sina (980-1038), Ibnu Bajah
(wafat 1137), Ibnu Thufail (1110-1185), dan Ibnu Rusyd (1126-1198). Sampai di
sini kematangan filsafat mereka telah menunjukkan super akting yang berlebihan.
Untuk itu muncul al Ghazali (1058-1111) dan Ibnu Maskawaih. Keduanya tampil sebagai
pewaris yang lebih cenderung melanjutkan estafeta perjuangan Asy’ariyah dan al
Maturidiyah. Kritik destruktif yang dilakukan mereka menggunakan alat filsafat
yang setaraf dengan pemikiran filsafat mereka. Sementara untuk kritik
konstruktif kedua tokoh ini menggunakan mistikisme (Tasawwuf). Keduanya,
terutama al Ghazali memberikan andil yang besar bagi pemulihan kepercayaan
Ahlussunnah, yang sebelumnya mulai surut dari gencaran-gencaran filsuf-filsuf
Islam tersebut.
Setelah periode itu,
ummat Islam tenggelam. Tampuk kepemimpinan dunia beralih ke Barat. Dunia Islam
hidup dalam penjajahan mereka. Bersamaan dengan penjajahan itu mereka
menawarkan ideologi-ideologi Barat yang ditopang dengan pemikiran-pemikiran
filsafati abad pertengahan, selain itu ekspansi dan penjajahan yang dilakukan
sarat dengan Kristrenisasi. Ummat saat itu bukan saja kehilangan negaranya,
tetapi sekaligus kehilangan sejarah dan identitas serta ideologi mereka. Pada
saat yang semacam itu Ahlussunnah bangkit dipelopori oleh pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah yang
kemudian dilanjutkan oleh Jamaluddin al Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, Iqbal, Natsir, Kiyahi Ahmad Dahlan, Kiyahi
Hasyim Asy’ari, dan lain-lainnya. Kritik yang dilakukan mereka terutama Ibnu
Taimiyah, bukan saja mampu menyingkapkan kesalahan-kesalahan logika Yunani yang
diagungkan oleh budaya Barat pada awal kebangkitan mereka, sehingga
ilmuwan-ilmuwan Barat harus mengakui logika Yunani sebagai logika pra sains,
bukan logika sains, tetapi sekaligus mampu menyusun logika sains, logika eksperimental, yang akhirnya
logika itu diambil alih oleh Roger Bacon dan dikembangkan oleh August Comte.
Logika inilah yang kemudian memberikan ilham dan andil besar terhadap perkembangan
teknologi. Sementara tokoh-tokoh lainnya lebih menekankan pada prinsip-prinsip
ideologis politik untuk melawan indoktrinasi ideologi Barat, dan melawan
ekspansi ekonomi, serta melawan infiltrasi budaya.
Kalau boleh dibentuk
dalam sebuah skema tentang perkembangan Ahlussunnah dan peranannya itu dapatlah
digambarkan sebagai berikut :
Ahlussunnah
|
Tantangan
|
Peran Mereka
|
I. Periode Fiqhiyah Ushuliyah :
-
Hanafiyah
-
Malikiyah
-
Syafi’iyah
-
Hambaliyah
|
Masuknya filsafat Yunani yang didukung Qadariyah
|
-
Memberikan fatwa larangan dan menjauhi filsafat dan logika Yunani.
-
Merumuskan Ushul Fiqih sebagai logika hukum Islam.
-
Mempertahankan Islam dengan menggunakan argument rasional, sebagai
alat.
-
Kritik tajam terhadap filsafat Yunani.
-
Menghancurkan posisi kermandirian filsafat Yunani dalam filsafat Islam.
-
Penawaran mistikisme Islam sebagai alternatif.
-
Mencetuskan metode eksperimen dan pemapanan ideologi Islam baik bidang
politik, sosial dan agama.
|
III. Periode Fiqhiyah kalamiyah :
-
Asy’ariyah
-
Maturidiyah
|
Pengagungan
akal yang didasari prinsip logika Yunani. Didukung oleh Mu’tazilah
|
|
III. Periode Filsafat Islam :
-
Al Ghazaliyah
|
Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang telah menunjukkan
kemandiriannya, bukan semata sebagai alat.
Didukung oleh para filsuf Islam
|
|
IV. Periode Kebangkitan Islam :
-
Ibnu Taimiyah
-
Para Reformer
-
Pan’s Islam
|
Infiltrasi kebudayaan, Westernisasi
Ekspansi ekonomi
Indoktrinasi ideologi
Kristenisasi
|
Dilihat dari skema
itu, tampak peran yang berkembang dinamis dari Ahlussunnah sejak pertumbuhannya
semula. Kadar rasionalitas dalam menjawab tantangan semakin menunjukkan
kematangan. Sekarang kita berhadapan dengan banyak tantangan westernisasi,
liberalisasi, kapitalisme, teknokrasi yang dipancarkan oleh Barat, dan
sosialisme, komunisme, Bolshivisme, “budaya Keadikuasaan”, kosmopolitisme,
komputerisasi dibidang manusiawi, yang dipancarkan oleh negara-negara komunis
terutama US. Apa jawaban yang diberikan oleh Ahlussunnah, untuk memberikan
kepercayaan para anggota dan ummatnya? Sanggupkah mereka melanjutkan dan
mengembangkan kadar intelektualitas yang telah mentradisi dalam perkembangan
Ahlussunnah itu?
Kebanyakan dari kita
hanyalah mengaku Ahlussunnah tapi tak banyak berbuat bagi kelangsungan tradisi
perkembangan. Bahkan lebih tragis, di antara kita harus diakui, banyak mengakui
Ahlussunnah, tapi tak mengerti tradisi itu, sehingga terpatri dalam kejumudan.
Renungan buat NU, Muhammadiyah, Persis, Alwasliyah …!!! ***
Sumber : majalah
Al-Muslimun No. 217 Thn (35) Sya’ban/Ramadhan 1408 April 1988
Penulis : Syarqawi
Dhofir